PENGERTIAN POLISITEMIA VERA
Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk
hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan
volume darah total, biasanya disertai lekositosis, trombositosis dan splenomegali 1
Polisitemia Vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur
40-60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1, di Amerika Serikat
angka kejadiannya ialah 2,3 per 100.000 penduduk dalam setahun, sedangkan di
Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadiannya. Penyakit ini dapat terjadi
pada semua ras / bangsa, walaupun didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi
pada orang Yahudi.
SEJARAH PV
Sejarah Polisitemia Vera dimulai tahun 1892 ketika Louis Hendri Vaquez
pertama kali menjelaskan Polisitemia Vera pada pasien dengan tanda eritrositosis
dan hepatosplenomegali. Kemudian tahun 1951 William Dameshek
mengklasifikasikan Polisitemia Vera, Trombositosis Esensial dan Mielofibrosis
Idiopatik sebagai Penyakit Mieloproliferatif. Dan baru tahun 1970 Polycythemia
Vera Study Group (PVSG) membuat kriteria diagnosis Polisitemia Vera atas
Kriteria Mayor dan Kriteria Minor.
ETIOPATOGENESIS POLISITEMIA VERA belum sepenuhnya dimengerti, suatu
penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan molekular yaitu adanya
kariotip abnormal di sel induk hematopoisis. yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q,
5q, trisomi 8, trisomi 9.
Dan tahun 2005 ditemukan mutasi JAK2V617F, yang
merupakan hal penting pada etiopatogenesis Polisitemia Vera.
Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total
eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan
penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan
penurunan laju transport oksigen.
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ menyebabkan iskemia / infark seperti di otak, mata, telingga, jantung, paru, dan ekstremitas.
DIAGNOSIS PV
Diagnosis Polisitemia Vera ditegakkan dengan menggunakan kriteria
diagnosis berdasarkan Polycythemia Vera Study Group (PVSG) yang terdiri dari
Kriteria Mayor dan Kriteria Minor.
Permasalahan pada Polisitemia vera adalah dalam penatalaksanannya,karena penatalaksanaan Polisitemia Vera yang optimal masih kontroversial, dan
tidak ada terapi tunggal untuk Polisitemia Vera. Tujuan utama terapi adalah
mencegah terjadinya trombosis.
PVSG merekomendasikan plebotomoi pada semua pasien yang baru didiagnosis untuk mempertahankan hematokrit < 45 %, dan untuk mengontrol gejala.
Untuk terapi jangka panjang ditentukan berdasarkan status klinis pasien.
Sejak ditemukan mutasi JAK2V617F tahun 2005 terjadi perkembangan baru
dalam kriteria diagnosis dan juga dalam pengobatan, revisi kriteria diagnosis
dengan memasukkan pemeriksaan JAK2V617F sebagai salah satu kriteria
diagnosis sehingga diagnosis Polisitemia Vera menjadi lebih mudah, dimana
mutasi JAK2V617F ditemukan pada sebagian besar pasien Polisitemia Vera 90%
dan 50% pasien Trombositosis Esensial dan Mielofibrosis Idiopatik. Setelah
penemuan mutasi JAK2V617F mulailah berkembang terapi anti JAK2 untuk
menghambat mutasi JAK2V617F sebagai target terapi seperti yang dilaporkan
tahun 2007 pada pertemuan American Society of Hematology.
Penelitian klinik mulai dikembangkan, salah satu anti JAK2 yang sekarang digunakan adalah suatu Tirosin Kinase Inhibitor seperti Imatinib dan Erlotinib.
Dengan penemuan mutasi JAK2V617F terjadi revisi kriteria diagnosis
Polisitemia Vera sehingga diagnosis menjadi mudah dan dengan
dikembangkannya terapi anti JAK2 sehingga terapi Polisitemia Vera lebih optimal
dan angka harapan hidup pasien Polisitemia Vera menjadi lebih meningkat.
ETIOPATOGENESIS DAN KLASIFIKASI POLISITEMIA VERA
ETIOPATOGENESIS POLISITEMIA VERA
Polisitemia Vera merupakan penyakit kronik progresif dan belum
diketahui penyebabnya, suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan
molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel induk hemopoisis yaitu kariotip
20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, dan trisomi.
Penemuan mutasi JAK2V617F tahun 2005 merupakan hal yang penting
pada etiopatogenesis Polisitemia vera, dan membuat diagnosis Polisitemia Vera
lebih mudah. JAK2 merupakan golongan tirosin kinase yang berfungsi sebagai
perantara reseptor membran dengan molekul signal intraselulur. Dalam keadaan
normal proses eritropoisis dimulai dengan ikatan eritropoitin (EPO) dengan
reseptornya (EPO-R), kemudian terjadi fosforilasi pada protein JAK, yang
selanjutnya mengaktivasi molekul STAT ( Signal Tranducers and Activator of
Transcription), molekul STAT masuk kedalam inti sel dan terjadi proses
transkripsi.
Pada Polisitemia vera terjadi mutasi yang terletak pada posisi 617
(V617F) sehingga menyebabkan kesalahan pengkodean quanin-timin menjadi
valin-fenilalanin sehingga proses eritropoisis tidak memerlukan eritropoitin.
sehingga pada pasien Polisitemia Vera serum eritropoetinnya rendah yaitu < 4
mU/mL, serum eritropoitin normal adalah 4-26 mU/mL.
Hal ini jelas membedakan dari Polisitemia sekunder dimana eritropoetin
meningkat secara fisiologis (sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang
meningkat), atau eritopoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom
paraneoplastik yang mensekresi eritropoetin.
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit dapat disebabkan karena
penurunan volume plasma tanpa peningkatan sel darah merah disebut polisitemia
relatif, misalnya pada dehidrasi berat, luka bakar dan reaksi alergi.
Gambar 1. Etiopatogenesis Polisitemia Vera10 (mv gbr blm bs ditampilkan )
Gambar 2. Algoritma Diagnosis Polisitemia Vera3 ( mv gbr blm bs ditampilkan)
Serum Eritropoitin
Low
PV Diagnosis Probable PV Diagnosis Probable
Evaluate for secondary
Normal High
Bone marrow biopsy
Histology characteristic for PV
PV Spesial testing
Consistent with PV Not consistent with PV
PV Reevaluate in 3mo
Mekanisme yang diduga menyebabkan peningkatan proliferasi sel induk
hematopoitik adalah :
1. Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk hematopoitik yang bersifat
Neoplastik.
2. Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang mempengaruhi proliferasi
sel induk hematopoitik normal
3. Peningkatan sensitivitas sel induk hematopoitik terhadap eritropoitin,
Interleukin 1,3, GMCSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor), Stem cell factor.
KLASIFIKASI POLISITEMIA VERA
Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah merah yaitu
Polisitemia Relatif dan Polisitemia Aktual atau Polisitemia Vera, dimana pada
Polisitemia Relatif terjadi penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang
sebenarnya dari volume sel darah merah, seperti pada pada keadaan dehidrasi
berat, luka bakar, reaksi alergi.
Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas Polisitemia
Primer dan Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia Primer terjadi peningkatan
volume sel darah merah tanpa diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia
sekunder, terjadinya peningkatan volume sel darah merah secara fisiologis karena
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat seperti pada penyakit paru
kronis, penyakit jantung kongenital atau tinggal didaerah ketinggian dll,
disamping itu peningkatan sel darah merah juga dapat terjadi secara non fisiologis
pada tumor yang menghasilkan eritropoitin seperti tumor ginjal, hepatoma, tumor
ovarium dll.
Tabel 1. Klasifikasi Eritrositosis
I. Primary (Autonomaus )
A. Polycythemia vera
B. Polycythemia familial primer
II. Secondary.
A.Physiologically appropriate (decreased tissue oxygenation )
1. High altitude
2. Chronic lung disease
3. Alveolar Hypoventilation.
4. Cardiovascular right-to-left shunt
5. High oxygen affinity Hemoglobinopathy
6. Carboxyhemoglobinemia ( Smokers erythrocytosis )
7. Congenital Decreased 2,3 – diphosphoglycerate
B.Physiologically inappropriate erythropoietin
1. Tumor producing erythropoietin
a. Renal cell carcinoma
b. Hepatocelular carcinoma
c. Cerebellar hemangioblastoma
d. Uterine leiomyoma
e. Ovarian carcinoma
f. Pheochromocytoma
2. Renal diseases
a. Cysts
b. Hydronephrosis
3. Adrenal cortical hypersecretion
4. Exogenous androgens
5. Unexplained (essential )
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA
MANIFESTASI KLINIS POLISITEMIA VERA
Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total
eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan
penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan
penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan
terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena
terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa :
1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang
kemudian akan menyebabkan :
• Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan
menimbulkan eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.
• Penurunan laju transport oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran
(iskemia/infark) seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.
2. Penurunan shear rate.
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer
yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan
timbulnya perdarahan walaupun jumlah trombosit > 450.000/mm3. Perdarahan
terjadi pada 10 - 30 % kasus Polisitemia Vera, manifestasinya dapat berupa
epistaksis, ekimosis dan perdarahan gastrointestinal.
3. Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm3).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia Vera tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis.
4. Basofilia
Lima puluh persen kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di
seluruh tubuh terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia
vera datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh
meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat meningkatnya
basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena
peningkatan kadar histamin.
5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia vera. Splenomegali
ini terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera. Sebagaimana
halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder
hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
7. Gout.
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuentrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam
urat darah akan meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular menurun karena
penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia .
8. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat.
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat
dan vitamin B12. Hal ini dijumpai pada ± 30% kasus Polisitemis Vera karena
penggunaan untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak
tersaturasi pengikat vitamin B12 (Unsaturated B12 Binding Capacity) dijumpai
meningkat > 75% kasus.
9. Muka kemerah-merahan (Plethora )
Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir, konjungtiva
hiperemis sebagai akibat peningkatan massa eritrosit.
10. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa,
vertigo, tinitus, perasaan panas.
Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis, ekimosis, perdarahan
gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena
peningkatan viskositas darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah
arteri. Pasien Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan
waktu operasi atau trauma.
Tabel 2. Tanda dan gejala Polisitemia Vera
Signs and Symptoms of Polycythema vera
More common Less Common
• Hematocrit level > 52 % inwhite
men, > 47 % in blacks and
women
• Hemoglobin Level > 18 g / dL in
white men, > 16 g / dL in blacks
and women
• Plethora
• Pruritus after bathing
• Splenomegaly
• Weight loss
• Sweating
• Bruising/epistaxis
• Budd-chiari Syndrome
• Erythromelalgia
• Gout
• Hemorrhagic Events
• Hepatomegaly
• Ischemic digit
• Thrombotic events
• Transient Neuralgic
Complaints(headache,
tinnitus Dizziness, blurred)
• Atypical chest pain
Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase:
1. Gejala awal (early symptoms )
Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu ada
kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal
biasanya sakit kepala (48 %), telinga berdenging (43 %), mudah lelah (47 %),
gangguan daya ingat, susah bernafas (26 %), hipertensi (72 %), gangguan
penglihatan (31 %), rasa panas pada tangan / kaki (29 %), pruritus (43 %),
perdarahan hidung, lambung (24 %), sakit tulang (26 %).
2. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi
Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan /
trombosis, peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan
peningkatan resiko ulkus peptikum.
3. Fase Splenomegali (Spent phase )
Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada
fase ini terjadi kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi anemia berat,
kebutuhan tranfusi meningkat, hati dan limpa membesar.
DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA
Polisitemia Vera merupakan Penyakit Mieloproliferatif, sehingga dapat
menyulitkan dalam menegakkan diagnosis karena gambaran klinis yang hampir
sama, sehingga tahun 1970 Polycythenia Vera Study Group menetapkan kriteria
diagnosis berdasarkan Kriteria mayor dan Kriteria minor.1.2
Tabel 3. Kriteria Diagnosis menurut Polycythemia Vera Study Group 1970 :
KRITERIA MAYOR
KRITERIA MINOR
1. Massa eritrosit : laki-laki >36 ml / kg, perempuan > 32 ml / kg
2. Saturasi Oksigen > 92 %
3. Splenomegali
1. Trombositosis > 400.000 / mm3
2. Lekositosis > 12.000 / mm3
3. Aktivasi Alkali fosfatase lekosit >100 ( tanpa ada demam / infeksi )
4. B 12 serum > 900 pg / ml atau UBBC(Unsaturated B12 Binding Capasity )> 2200pg /ml
DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA
kriteria mayor, atau
kriteria mayor pertama + 2 kriteria minor
Beberapa kriteria ( alkali fosfatase lekosit, B12 serum,UBBC) dianggap
kurang sensitif, sehingga dilakukan revisi kriteria diagnostik Polisitemia Vera
sebagai berikut:
Kriteria kategori A :
A1. Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25 % diatas rata-rata angka normal.
A2. Tidak ada penyebab polisitemia sekunder.
A3. Splenomegali
A4. Petanda klon abnormal (Kariotipe abnormal ).
Kriteria kategori B :
B1. Trombositosis : 400.000/mm3
B2. Leukositosis : 12.000/mm3 (tidak ada infeksi).
B3. Splenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi
B4. Penurunan serum eritropoitin.
Diagnosis Polisitemia Vera : Kategori A1 +A2 dan A3 atau A4 atau Kategori A1 + A2 dan 2 kriteria kategori B.
Sejak ditemukan mutasi JAK2V617F tahun 2005, maka diusulkan
pemeriksaan JAK2 sebagai kriteria diagnosis Polisitemia Vera.
Tabel 4. KRITERIA DIAGNOSIS POLISITEMIA YANG DIUSULKAN.
A1 Peningkatan volume sel darah merah > 25 % diatas normal atau hemaktorit
> 60 % pada laki-laki atau > 56 % pada wanita
A2 Tidak adanya penyebab lain Eritrositosis
A3 Splenomegali
A4 Ditemukannya mutasi JAK2 V617F atau Sitogenetik abnormal lainnya
B1 Trombositosis ( Trombosit > 400.000/mm3)
B2 Lekositosis (Lekosit > 10.000/mm3 , >12.500/mm3 pada perokok)
B3 Splenomegali (radiologi)
B4 Rendahnya serum eritropoitin
Diagnosis Polisitemia Vera : A1 + A2 + A yang lain atau 2 Kriteria B.
Pemeriksaan Laboratorium1.
1. Eritrosit,
Peningkatan >6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom,
normositik kecuali jika terdapat transisi ke arah metaplasia mieloid.
2. Granulosit, meningkat pada 2/3 kasus Polisitemia Vera, berkisar antara 12-
25.000 /mL tetapi dapat sampai 60.000 /mL.
3. Trombosit, berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat > 1 juta/mL sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
4. B12 serum
B12 serum dapat meningkat pada 35% kasus, tetapi dapat pula menurun, pada
± 30% kasus, dan UBBC meningkat pada > 75% kasus Polisitemia Vera.
5. Pemeriksaan Sumsum Tulang (SST)
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada kecurigaan
penyakit mieloproliferatif. Sitologi SST menunjukkan peningkatan selularitas
seri eritrosit, megakariosit dan mielosit.
6. Peningkatan Hemoglobin berkisar 18-24 gr/ dl
7. Peningkatan Hematokrit dapat mencapai > 60 %
8. Viskositas darah meningkat 5-8 kali normal
9. UBBC (Unsaturated B12 Binding Capasity ) meningkat 75 % penderita.
10. Pemeriksaan Sitogenetik, dapat dijumpai kariotip 20q,13q, 11q, 7q, 6q, 5q,
trisomi 8 dan trisomi 9.
11. Serum eritropoitin,
Pada Polisitemia Vera serum eritropoitin menurun atau normal sedangkan
pada Polisitemia sekunder serum eritropoitin meningkat 6.
12. Pemeriksaan JAK2V617F ditemukan 90% pasien Polisitemia Vera dan 50%
pasien Trombositosis Esensial dan Mielofibrosis Idiopatik.
Di India tahun 2006, dari 77 pasien Myeloproliferative Disorders,
didapatkan positif pemeriksaan JAK2V617F pada 80% pasien polisitemia vera,
70% pada pasien Trombositosis Esensial dan 51 % pada pasien IMF.14 Untuk
mengetahui peranan mutasi invivo ditranplantasikan SST dengan JAK2V617F
pada tikus sehingga tikus tersebut menderita Polisitemia Vera.15
PENATALAKSANAAN POLISITEMIA VERA
Penatalaksanan Polisitemia Vera yang optimal masih kontroversial, tidak
ada terapi tunggal untuk Polisitemia Vera. Tujuan utama terapi adalah mencegah
terjadinya trombosis. PVSG merekomendasikan plebotomoi pada semua pasien
yang baru didiagnosis untuk mempertahankan hematokrit <45% untuk mengontrol
gejala. Untuk terapi jangka panjang ditentukan berdasarkan status klinis pasien.
Setelah penemuan mutasi JAK2V617F mulailah berkembang terapi anti
JAK2V617F seperti yang dilaporkan tahun 2007 pada pertemuan American
Society of Hematology. Obat ini dapat menghambat mutasi JAK2V617F. Suatu
alternatif anti JAK2 yang digunakan sekarang adalah Tirosin Kinase Inhibitor
seperti Imatinib dan Erlotinib.
PRINSIP PENGOBATAN
1. Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan mengendalikan
eritropoisis dengan plebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik / polisitemia yang
belum terkendali.
3. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada
pasien usia muda.
4. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau
kemoterapi pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
• Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, terutama jika disertai
gejala trombosis.
• Leukositosis progresif.
• Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia .
• Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti prunitus, penurunan
berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Does patient have the three major criteria of the first two major criteria and any two
Major criteria
• Red blood cel mass > 36 mL per kg
in men or
• Oxygen saturation > 92 percent
• Splenomegaly
Minor criteria
• Leukocyte alkaline phosphatase > 100 U/L
• Platelet count > 400.000 / mm3
• White blood cell count > 12.000 / mm3
• Serum vitamin B12 level > 900 pg / ml or
serum Unsaturated vitamin B12 binding
capacity > 2.200 pg per ml
Gambar 3. Algoritma untuk Evaluasi dan Penatalaksanaan Polisitemia Vera
Evaluation of polycythemia vera
Hemoglobin level > 18 g / dl or hematocrit level > 52 % in
white men
Hemoglobin level > 16 g / dL or hermatocrit level > 47% in
blacks and women
Splenomegaly with of without thrombocytosis and leukocytosis
portal venous thrombosis
No Do not pursue work up
for polycythemia
Yes
Is there a secondary cause of polycythemia
vera
Yes
Treat underlying problem
No
Yes
Polycythemia vera
Consider haematology consultation
Major treatment options
• Phlebotomy
• Hydroxyurea (hydria) with of without
phlebotomy
• Interferon alfa – 2b (intron A)
Not polycyhemia vera
Consider alternate
diagnosis and
hematology consulation
No
MEDIA PENGOBATAN
1.Plebotomi
Plebotomi merupakan pengobatan yang adekuat bagi pasien polisitemia
selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.
Indikasi plebotomi :
• Polisitemia vera fase polisitemia.
• Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% .
• Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung beratnya gejala yang ditimbulkan.
Pada Polisitemia Vera tujuan plebotomi adalah mempertahankan
hematokrit 45%, untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan
shear rate. Manfaat plebotomi disamping menurunkan sel darah merah juga
menurunkan viskositas darah kembali normal sehingga resiko timbulnya
trombosis berkurang.
Terapi plebotomi sendiri tidak dapat diberikan pada semua pasien, karena
pasien tua tidak dapat mentolerir plebotomi karena status kardiopulmoner.
Dengan plebotomi saja angka harapan hidup lebih dari 12 tahun, tapi
dengan terapi plebotomi saja akan meningkatkan terjadinya trombosis dalam 3
tahun pertama terapi, karena buruknya komplikasi plebotomi, peningkatan
splenomegali, lekosit dan trombosit sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan
terapi sitoreduksi.13 yaitu Klorambusil dan 32P, walaupun dengan terapi
sitoreduksi ini akan meningkatkan kejadian leukemia akut, sehingga PVSG
menyarankan terapi dengan Hidroksiurea plus plebotomi untuk menurunkan
kejadian trombosis dan leukemia akut.
Penelitian pertama dari Polycythemia Vera Study Group (PSVG) antara
tahun 1967 sampai tahun 1974 pada 431 pasien Polisitemia vera, pasien diterapi
dengan plebotomi saja, sebagian dengan 32 P plus plebotomi dan sebagian lagi
dengan Klorambusil 10 mg/ hari plus plebotomi selama 6 minggu. Pasien yang
diterapi dengan plebotomi saja angka harapan hidup 13,9 tahun, dan yang diterapi
dengan 32 P plus plebotomi 11,8 tahun serta dengan Klorambusil plus plebotomi
8,9 tahun. Penyebab kematian pada ketiga grup tersebut berbeda, pasien dengan plebotomi saja kematian dalam 3 tahun pertama disebabkan karena komplikasi
trombosis sedangkan yang diterapi dengan mielosupresi terjadi karena leukemia
akut.
PVSG merekomendasikan plebotomi disarankan pada semua pasien untuk
mempertahankan hematokrit < 45 %. Untuk pasien yang rendah resiko trombosis,
umur dibawah 60 tahun, tidak ada riwayat trombosis, tidak disarankan
penambahan terapi. Sedangkan pasien dengan resiko tinggi trombosis atau sering
plebotomi pilihannya adalah agen mielosupresi. Pasien tua dapat diterapi dengan
32P, Busulfan atau Pipobroman sedangkan Hidroksiurea dipertimbangkan sebagai
terapi pilihan pada usia muda.
Walaupun sudah ada rekomendasi PVSG, dari 1006 anggota American
Society of Hematology terdapat perbedaan dalam terapi, dimana 69 % yang
menggunakan plebotomi sebagai pilihan pertama, Hidroksiurea hanya 28 %.
Sedangkan di Eropah dari 1638 pasien dengan umur rata-rata 60,4 tahun yang
mengunakan plebotomi saja 47-77 %, Hidroksiurea 43-75 % sedangka 32 P : 0-11%.
Prosedur Plebotomi :
• Pada permulaan, plebotomi 500 cc darah 1-3 hari sampai hematokrit < 55 %,
kemudian dilanjutkan plebotomi 250-500 ml/minggu, hematokrit
dipertahankan < 45 %. Pada pasien yang berumur > 55 tahun atau penyakit
vaskular aterosklerotik yang serius, plebotomi hanya boleh dilakukan dengan
prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan
cairan pengganti plasma, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral
atau jantung karena status hipovolemik. Penyakit yang terkontrol memerlukan
plebotomi 1-2 kali 500ml setiap 3-4 bulan. Bila plebotomi diperlukan lebih
dari 1 kali dalam 3 bulan, sebaiknya dipilih terapi lain.
• Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 mL darah, defisiensi besi
merupakan efek samping pengobatan plebotomi berulang, defisiensi besi ini
diterapi dengan pemberian preparat besi.
Kemoterapi
Tujuan pengobatan kemoterapi adalah sitoreduksi. Saat ini lebih
dianjurkan menggunakan Hidrokiurea salah satu sitostatik golongan obat
antimetabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak
ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan
mielosupresi yang serius.
Indikasi penggunaan kemoterapi :
1. Hanya untuk Polisitemia rubra primer .
2. Plebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 3 kali sebulan.
3. Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis.
4. Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
5. Splenomegali simtomatik / mengancam ruptur limpa.
A. Hidroksiurea
Dengan dosis 500-2000 mg/m2/hari atau diberikan sehari 2 kali dengan
dosis 10-15 mg/kg BB/kali, jika telah tercapai target dapat dianjurkan dengan
pemberian intermiten untuk pemeliharaan.
Tahun 1970 PVSG mengunakan Hidroksiurea suatu antimetabolit yang
mencegah sintesa DNA dengan menghambat enzim ribonukleosid reduktase pada
51 pasien dengan angka harapan hidup 8,6-25,3 tahun.
Efektivitas dan keamanan Hidroksiurea pada pasien juga dilaporkan di
Prancis oleh Najean dkk, dimana 292 pasien yang berumur dibawah 65 tahun
diterapi dengan Hidroksiurea atau Pipobroman dan difollow up dari tahun 1980-
1997, tidak ada perbedaan angka harapan hidup, tapi terjadi peningkatan progresif
menjadi mielofibrosis pasien yang diterapi dengan Hidroksiurea (26 kasus)
dibanding Pipobroman (3 kasus).
B. Klorambusil
Leukeran 2 mg/tablet dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/BB/hari selama
3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap minggu.
C. Busulfan
Mileran 2 mg/tablet, dosis 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2 hari, jika
telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk
pemeliharaan.
Di Eropah Penelitian Eropean Organisation for Research and Treatment
of Cancer (EORTC) pada 293 pasien Polisitemia Vera yang menggunakan
Busulfan dibandingkan dengan 32P dan diikuti selama 8 tahun ternyata angka
harapan hidup Busulfan lebih baik dibanding 32P (70 % vs 55%), tidak ada
perbedaan resiko terjadinya leukemia akut (2 % vs 1,4%).
Terapi sitoreduksi efektif mencegah trombosis tapi dapat meningkatkan
tranformasi hematologi, jadi sebenarnya ada 2 tujuan terapi yaitu meminimalkan
komplikasi trombosis dan mencegah progresi menjadi mielofibrosis atau leukemia
akut.
D.Interferon α
Interferon α juga efektif dibandingkan dengan terapi lain, untuk
menghindari komplikasi hematologi yang berhubungan dengan plebotomi yang
agresif atau terapi Hidroksiurea dan dapat memperlambat perkembangan
mielofibrosis jika digunakan lebih awal dan mempunyai kontrol yang baik dari
proliferasi megakariosit dan menurunkan trombosit, serta mencegah trombosis.
Dimulai dengan dosis 1 juta unit tiga kali seminggu.
Suatu penelitian pada 11 orang pasien Polisitemia Vera yang diterapi
dengan interferon saja sel darah dapat normal setelah 6-12 bulan17 .
Suatu penelitian pada 279 pasien yang menggunakan inteferon dapat
menurunkan hematokrit <45 % pada 50 % tanpa plebotomi, 77 % dapat
menurunkan splenomegali.
Interferon sering digunakan untuk pasien muda karena tidak berkembang
menjadi leukemogenik atau teratogenik dan terapi pilihan untuk ibu hamil tapi
harganya mahal dan diberikan secara parenteral serta mempunyai efek samping
sehingga sering pasien menghentikan pengobatan.
E.Posfor Radioktif (32P)
Posfor radioaktif ditangkap lebih banyak oleh sel yang membelah cepat
dari pada sel normal. 32P terkonsentrasi di sum-sum tulang dan efektif untuk
terapi Polisitemia Vera. Sebelum pemberian terapi 32P dilakukan plebotomi
sampai hematokrit normal. Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk
pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosioekonomi yang tidak
memungkinkan untuk berobat secara teratur. 32P pertama kali diberikan dengan
dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%.
Suatu penelitian di Paris sejak tahun 1979 pada 461 pasien Polisitemia
Vera yang berumur >65 tahun mendapat Hidroksiurea 5-10 mg/kg BB/hari setelah
induksi remisi pemberian 32 P dan pasien diobservasi sampai meninggal (juni
1996). Dari penelitian tersebut pemberian Hidroksiurea tidak menurunkan resiko
mielofibrosis (insidennya 20 % setelah 15 tahun ), dan juga tidak menurunkan
resiko komplikasi vaskular.
Tahun 1970 PVSG mencoba untuk menurunkan penyebab kematian pada
PVSG 01. Pada penelitian PVSG 05 menurunkan target hematokrit < 45%
dibanding plebotomi plus aspirin ( 900 mg / hari ) dan dipiridamol 225 mg/hari
dibanding dengan plebotomi plus 32P tapi penelitian diakhiri cepat ( 1,2 tahun)
karna tingginya insiden pendarahan gastrointestinal dan juga tidak adanya
penurunan kejadian trombosit.13 Penggunaan aspirin dosis tinggi tidak akan
memperbaiki trombosis tapi malahan akan meningkatkan resiko perdarahan
gastrointestinal.6 Banyak penelitian yang menyarankan penggunaan dosis rendah
aspirin (40-100 mg perhari) untuk mencegah trombosis.
Tabel 5 .Obat Mielosupresi untuk Polisitemia Vera 12
Obat miolosupresi dapat menurunkan trombosis tapi penggunaannya dapat
meningkatkan transformasi menjadi leukemia akut, ini merupakan dilema maka
terapi yang direkomendasi adalah Hidroksiurea ditambah aspirin dosis rendah
karna Hidroksiurea dapat mencegah trombosis dan sedikit bersifat leukomogenik.
Setelah penemuan mutasi JAK2V617F mulailah berkembang terapi anti
JAK2V617F seperti yang dilaporkan tahun 2007 pada pertemuan American
Society of Hematology. Manfaat obat ini dapat melawan JAK2V617F .Suatu
Agent Class Common side
Effects
Uncommon
Side effects Precautions
Hydroxyure
a (hydria)
Antimetabolite Anemia
neutropenia, oral
ulcers, skin
hyperpigmentation,
nail changes
Leg ulcers,
nausea,
diarrhea fever.
elevated liver
function test
results
Renal disease
Recombinant
interferon
alfa – 2b
(intron A)
Myelosuppressive Influenza- like
symptoms fatigue,
anorexia, weight,
loss, alopecia
headache, nause,
insomnia, body
pain
Confusion,
depression
autoimmunity,
hyperlipidemia
Psychiatric
disease
cardiovascular
disease
Radioactive
phisphorus
(32P)
Radiopharmaceutical Anemia,
thrombocytopia,
leukopenia
leukemia many
develop after
treatment
Diarrhea fever,
nausea emesis
Busulfan
(myleran)
Alkylating agent Pancytopenia
hyperpigmentation,
ovarian
suppression
Pulmonary
fibrosis,
leukemia,
seizure,
hepatic
venoocclusion
Seizure
disorder
alternatif anti JAK2 terapi yang digunakan sekarang adalah Tirosin Kinase
Inhibitor seperti Imatinib dan Erlotinib.
Suatu penelitian dengan menggunakan Imatinib dosis tunggal 200-400 mg
dapat menurunkan splenomegali.16 Sedangkan Cortes dkk menggunakan Imatinib
pada 14 orang pasien Polisitemia vera, 10 orang (71%) dari 14 pasien terjadi
penurunan splenomegali 30-100 %.
Penelitian Jones dan kawan - kawan pada 9 orang pasien Polisitemia Vera
yang diterapi dengan Imatinib ( Tirosin Kinase Inhiditor ) 800 mg/hari efektif
menurunkan penggunaan plebotomi, menurunkan trombosit, menurunkan ukuran
lien. Tapi penelitian klinik penggunaan obat ini masih terbatas.
Gambar4. Penatalaksanaan pasien dengan Polisitemia Vera.
Diagnosis of PV
Phlebotomy to maintain
Hematocrit < 45%
If: poor compliance to phlebotomy, or
Progressive myeloproliferation
(splenomegaly, leukocytosis and thrombocytosis),
Or high risk of thrombosis
Cytoreductive therapy
Interferon
Preferred in younger
patiens(< 50 years)
Hydroxyurea
Preferred in middle-aged
patient (50-70 years)
Busulfan or 32P in
elderly patients
(>70 years)
Tabel 6. TERAPI POLISITEMIA VERA YANG DIREKOMENDASIKAN.
1. Plebotomi untuk mempertahankan hematokrit < 45%
2. Aspirin dosis rendah ( jika tidak ada kontra indikasi )
3. Terapi faktor resiko trombosis secara agresif ( perokok hipertensi hiperkolesterolemia, obesitas )
4. Pertimbangkan sitoreduksi jika:
(i) Pasien tidak toleransi dengan plebotomi
(ii) Trombositosis
(iii) Spenomegali progresif
5. Pilihan terapi sitoreduksi
(i) Umur < 40 tahun – Interferon α
(ii) Umur > 40 tahun – Hidroksiurea
Terapi kejadian akut
1. Pendarahan jarang terjadi pada Polisitemia Vera biasanya terjadi pada pasien
dengan trombosit > 1500.000 /mm3, pendarahan serius biasanya terjadi karna
komplikasi obat anti trombosis sehingga obat ini sebaiknya dihindari pada
pasien yang sudah ada riwayat pendarahan atau pasien yang mempunyai risiko
tinggi pendarahan. Terapi pendarahan dengan Hidroksiurea atau
antifibrinolitik.
2. Trombosis diterapi dengan LMWH dilanjutkan dengan walfarin.
Eritromelalgia diterapi dengan loading dose aspirin 300-500 mg/hari
kemudian dilanjutkan 100 mg/hari. Pruritus diterapi dengan siproheptadin
atau dengan interferon α.
ECLAP membandingkan 518 pasien yang mendapat aspirin 100 mg/hari
dengan yang tidak, tidak ada perbedaan kematian karna kardiovaskuler atau
pendarahan tapi terapi dengan aspirin menurunkan resiko infark miokard, strok,
trombosis vena, hasil menyarankan dosis rendah aspirin dapat menurunkan
komplikasi trombosis.
PEMBEDAHAN PADA PASIEN POLISITEMIA VERA
A. Pembedahan Darurat
Pembedahan pada pasien Polisitemia Vera sebaiknya ditunda atau
dihindari. Dalam keadaan darurat, dilakukan plebotomi agresif dengan prinsip
isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4%
atau cairan plasma ekspander lainnya, bukan cairan isotonis / garam fisiologis,
suatu prosedur yang merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase
polisitemia, dan harus dihindari karena dalam perjalanan penyakitnya jika
terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang diharapkan sebagai
pengganti.
B. Pembedahan Berencana
Pembedahaan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkendali.
Lebih dari 75% pasien dengan Polisitemia vera tidak terkendali atau belum
diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada
pembedahan. Diperkirakan sepertiga dari pasien tersebut akan meninggal.
Angka komplikasi akan menurun jika eritrositosis sudah dikendalikan sebelum
pembedahan.
Suatu penelitian retrospektif multisenter dari Januari 1985 sampai
dengan 31 Juli 2005 di Italia memperkirakan frekuensi trombosis dan
pendarahan pasien Polisitemia Vera dan Trombosis Esensial setelah operasi
yaitu dari 105 pasien Polisitemia Vera dan 150 pasien Trombositosis esensial
dari total 311 operasi, pada 169 pasien ( 54,3% ) mendapat heparin subkutan,
anti platelet 48% (15,4% ), 188 orang (74%) dari 255 pasien mendapat terapi
sitoreduksi sebelum operasi, setelah follow up 3 bulan terdapat 12 pasien
dengan trombosis arteri dan 12 pasien dengan trombosis vena, 23 pasien
mengalami pendarahan mayor dan 7 pendarahan minor dan 5 kematian, tidak
ada perbedaan pendarahan dengan tipe diagnosis atau penggunaan anti
trombosis profilak atau tipe operasi. Penelitian menyimpulkan tingginya
trombosis arteri setelah operasi walaupun sudah dikontrol dengan plobetomi
dan anti trombosis profilak.
The European Collaboration on Low dose Aspirin in Polycythemia Vera (ECLAP) merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah untuk
semua pasien Polisitemia Vera kecuali pada pasien yang ada riwayat
perdarahan sedangkan Stevano menyatakan pasien yang ada riwayat
pendarahan seperti ulkus lambung dapat ditambahkan terapi PPI. Diagnosa
awal dan penggunaan aspirin dan sitoreduksi menurunkan insiden
tromboisis.
Dari penelitian terapi pada pasien Polisitemia vera dapat disimpulkan
bahwa tidak ada terapi tunggal untuk pasien Polisitemia vera, terapi yang
direkomendasikan adalah plebotomi disarankan pada semua pasien yang baru
didiagnosis untuk mempertahankan hematokrit < 45%, untuk mencegah
trombosis sebagai komplikasi plebotomi dapat diberikan kemoterapi dan yang
dianjurkan adalah Hidroksiurea karena mempunyai efek leukemogenik yang
rendah.
Pengobatan Suportif
1. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-300 mg/hari. Gout arthritis dapat
terjadi pada 10 % pasien Polisitemia vera. Pada serangan akut terapinya sama
dengan gout primer dengan kolkisin dan penilbutazon.
2. Pruritus
Pruritus ini disebabkan proliferasi sel mast dan basofil atau pelepasan
prostaglandin dan serotonin. Terapi dapat diberikan antihistamin jika pruritus
memburuk dengan terapi plebotomi, interferon α dapat mengontrol pruritus.
Suatu penelitian 397 pasien Polisitemia Vera 48 % dengan keluhan pruritus.
3. Gastritis / ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
4. Eritromelalgia, jarang terjadi (3%)
5. Trombositosis dan disfungsi trombosit.
Penggunaan aspirin dosis tinggi tidak akan memperbaiki trombosis tapi
malahan akan meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal.6 Banyak
penelitian yang menyarankan penggunaan dosis rendah aspirin (40-100 mg
perhari) untuk mencegah trombosis.
PROGNOSIS
Polisitemia adalah penyakit kronis dan bila tanpa pengobatan kelangsungan
hidup penderita rata-rata 18 bulan. Dengan Plebotomi kelangsungan hidup 13,9
tahun, dengan terapi 32 P kelangsungan hidup 11,8 tahun dan 8,9 tahun pada
penderita dengan terapi klorambusil.
Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah:
1. Trombosis, dilaporkan pada 15-60 % pasien, tergantung pada pengendalian
penyakit tersebut dan 10-40 % penyebab utama kematian.
2. Kompilkasi perdarahan timbul 15-35 % pada pasien polisitemia vera dan 6-
30% menyebabkan kematian.
3. Terdapat 3-10 % pasien Polisitemia vera berkembang menjadi mielofibrosis
dan pansitopenia.
4. Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom
mielodisplasia pada 1,5 % pasien dengan pengobatan hanya plebotomi.
Peningkatan resiko tranformasi 13,5 % dalam 5 tahun dengan pengobatan
Klorambusil dan 10,2 % dalam 6-10 tahun pada pasien dengan terapi32 P.
Terdapat juga 5,9 % dalam 15 tahun resiko terjadinya tranformasi pada pasien
dengan pengobatan Hidroksiurea. Insiden leukemia akut meningkat pada pasien
yang mendapat 32 P atau kemoterapi dengan Khlorambusi.
Tabel 7 . Faktor resiko Polisitemia Vera
Risk category Risk factors
Low risk Age younger than 60 years and no
history of thrombocytosis and platelet
count lower than 150.000 / mm3
Interminate risk Age younger than 60 years and no
history of thrombocytosis and either
platelet count higher than 150.000/
mm3 or presence of cardiovascular risk factors
High risk Age 60 years or older positive history of thrombosis
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Polisitemia Vera merupakan penyakit yang termasuk Penyakit
Mieloproliferativ.
2. Etiopatogenesis Polisitemia Vera belum sepenuhnya dimengerti, tetapi
penelitian sitogenetik menyatakan adanya kelainan molekular yaitu kariotip
abnormal di sel induk hematopoisis. Dan tahun 2005 ditemukan mutasi
JAK2V617F, ini merupakan hal penting pada etiopatogenesi PV
3. Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total
eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan
trombosis dan penurunan laju transport oksigen.
4. Penatalaksanaan Polisitemia Vera pada prinsipnya menurunkan hematokrin
untuk mencegah terjadinya komplikasi trombosis.
5. Penemuan Mutasi JAK2V617F tahun 2005 membuat diagnosis Polisitemia
Vera menjadi lebih mudah mulailah berkembang terapi anti JAK2V617F
Saran
Perlunya penelitian klinik tentang penggunaan terapi anti JAK2V617F
sebagai terapi target sehingga angka harapan hidup pasien Polisitemia Vera
meningkat.
Semoga bermanfaat,
Salam
Dunia ini terlalu luas untuk diri kita, namun jangan sampai kita berhenti mencari dan mencari serta berusaha, bagai udara dan nafas kita yang setiap detik kita butuhkan, marilah bersama kita berbagi informasi, semoga bermanfaat bagi para pembaca/BLOGGER dimanapun/ siapapun/ kapanpun...
26 March 2012
22 March 2012
SAKIT MAAG?
Semua orang pasti pernah sakit maag. Tapi sayangnya saat mengatasi penyakit lambung ini banyak yang terjebak mitos-mitos yang belum tentu kebenarannya. Hasilnya bukan malah sembuh tapi tambah parah.
Bagi siapa saja yang tidak mampu mengatur pola makannya dengan baik dan benar atau terbiasa membiarkan perut dalam keadaan kosong, tidak lama lagi pasti akan merasakan rasa sakit perut yang begitu menyiksa.Bila maag sudah menyerang, ulu hati Anda serasa ditusuk-tusuk.Anda pun akan merasa serba salah, diisi makanan pun, lambung seolah berontak. Sementara bila didiamkan Anda akan merasa lapar plus sakit pada ulu hati. Kalau sudah begini , mau tidak mau semua aktifitas akan terhenti.
Langkah awal yang perlu Anda ketahui, adalah memahami apa itu sakit maag dan tidak terjebak dengan mitos-mitos yang menyesatkan. Karena kebanyakan penderita lebih percaya mitos dibanding mempelajari apa penyebab sakit maag dan cara tepat mengatasinya. Akhirnya, sakit maag yang di derita bertambah parah.
FAKTA DIBALIK MITOS SAKIT MAAG YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT
1. MITOS SAKIT MAAG ADALAH PENYAKIT RINGAN
FAKTA: Sejatinya, sakit maag yang terlalu sering kambuh dapat berdampak pada produktivitas, aktifitas harian dan kualitas hidup penderitanya.Gejala sakit maag yang tidak segera diatasi bisa menyebabkan pendarahan pada lambung, sehingga si penderita bisa muntah darah. Bahkan bisa terkena kanker lambung hingga komplikasi penyakit lain.
Menurut WHO, 1,7 milyar penduduk dunia menderita maag. Di Indonesia sendiri menunjukkan 5 dari 10 pekerja mengalami sakit maag. Jumlah yang cukup fantastis, melebihi penyakit demam berdarah, HIV,AIDS,KISTA,KANKER atau TUMOR.
2. MITOS SAKIT MAAG MURNI KARENA KESALAHAN PRIBADI.
FAKTA: Sakit ini merupakan medis dengan penyebab biologis yang riil. Bukan karena gaya hidup dan pengaruh makanan/ minuman.Buktinya ada beberapa orang yang melakukan perubahan signifikan dengan merubah gaya hidup, namun sakit maag tetap saja menyerang.
3. MITOS MAAG TIDAK BISA DIKENDALIKAN.
FAKTA: Orang yang terkena sakit maag tidak harus menderita diam-diam. Perubahan pola makan dan gaya hidup serta ketersediaan antasida yang dapat dibeli di pasaran dapat membantu meringankan derita itu.
4. MITOS PENDERITA MAAG TIDAK BOLEH BERPUASA
FAKTA: Tidak semua gangguan maag menjadi halangan untuk berpuasa. Tergantung jenis dan parahnya penyakit. Tetap konsultasikan pada dokter langganan.
5. MITOS JANGAN MAKAN YOGHURT KARENA RASA ASAMNYA
FAKTA: Yoghurt masih aman bagi mereka yang menderita penyakit maag. Rasa asam yoghurt tidak akan merangsang produksi berlebihan asam lambung dan meningkatkan iritasi pada lambung. Dalam literatur dikatakan bahwa salah satu manfaat yoghurt adalah justru mengobati sakit maag, maenyembuhkan luka pada dinding lambung.
6. MITOS BAHWA JERUK NIPIS MEMBUAT KAMBUH DAN PERUT PERIH
FAKTA:Meskipun terasa asam, air jeruk nipis sama sekali tidak membuat lambung perih. Justru mengandung khasiat dan menyegarkan. Rasa asam buah ini bersifat basa di dalam lambung dan akan membantu menetralisir asam lambung. Jadi sama sekali tidak menyebabkan sakit maag kambuh.
Rasa asam jeruk nipis berbeda dengan rasa asam buatan yang menyebabkan sakit perut, terutama jika diminum dalam keadaan perut kosong. Dengan sifat dasarnya yang basa, jeruk nipis dapat membantu penyeimbangan Ph di dalam sistem tubuh. Jeruk nipis juga mengaktifkan liver dalam proses detoksifikasi atau pembuangan racun dalam tubuh.
7. MITOS EFEK MENGUNYAH MINT SETELAH MAKAN MALAM, TIDUR JADI NYENYAK
FAKTA: Mint umumnya bukan cara terbaik memastikan tidur malam yang nyenyak bagi penderita sakit maag.
Faktanya mengonsumsi mint dikombinasikan dengan coklat dan posisi berbaring, malah memicu terjadinya gejala sakit maag berupa nyeri lambung.
8. MITOS ANTASIDA BUKAN OBAT YANG SESUNGGUHNYA
FAKTA: Sejumlah orang yakin bahwa antasida yang dijual bebas di pasaran bukanlah obat yang sesungguhnya. Antasida tetaplah obat. Anda tetap harus membaca petunjuk pemakaian. Jika digunakan sebagaimana mestinya, antasida efektif meredakan sakit maag. Benar, seperti magasida, mampu mengatasi maag, aman dan pastinya enak di mulut.
Magasida mampu melapisi lambung, mengurangi asam lambung dan membuat perut anti kembung. Keampuhannya berasal dari formula ganda Aluminium Magnesium dan Simetikon. Magasida mudah di dapat di apotik maupun toko-toko di sekitar rumah Anda.
Semoga bermanfaat, salam
Sumber:Health
Bagi siapa saja yang tidak mampu mengatur pola makannya dengan baik dan benar atau terbiasa membiarkan perut dalam keadaan kosong, tidak lama lagi pasti akan merasakan rasa sakit perut yang begitu menyiksa.Bila maag sudah menyerang, ulu hati Anda serasa ditusuk-tusuk.Anda pun akan merasa serba salah, diisi makanan pun, lambung seolah berontak. Sementara bila didiamkan Anda akan merasa lapar plus sakit pada ulu hati. Kalau sudah begini , mau tidak mau semua aktifitas akan terhenti.
Langkah awal yang perlu Anda ketahui, adalah memahami apa itu sakit maag dan tidak terjebak dengan mitos-mitos yang menyesatkan. Karena kebanyakan penderita lebih percaya mitos dibanding mempelajari apa penyebab sakit maag dan cara tepat mengatasinya. Akhirnya, sakit maag yang di derita bertambah parah.
FAKTA DIBALIK MITOS SAKIT MAAG YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT
1. MITOS SAKIT MAAG ADALAH PENYAKIT RINGAN
FAKTA: Sejatinya, sakit maag yang terlalu sering kambuh dapat berdampak pada produktivitas, aktifitas harian dan kualitas hidup penderitanya.Gejala sakit maag yang tidak segera diatasi bisa menyebabkan pendarahan pada lambung, sehingga si penderita bisa muntah darah. Bahkan bisa terkena kanker lambung hingga komplikasi penyakit lain.
Menurut WHO, 1,7 milyar penduduk dunia menderita maag. Di Indonesia sendiri menunjukkan 5 dari 10 pekerja mengalami sakit maag. Jumlah yang cukup fantastis, melebihi penyakit demam berdarah, HIV,AIDS,KISTA,KANKER atau TUMOR.
2. MITOS SAKIT MAAG MURNI KARENA KESALAHAN PRIBADI.
FAKTA: Sakit ini merupakan medis dengan penyebab biologis yang riil. Bukan karena gaya hidup dan pengaruh makanan/ minuman.Buktinya ada beberapa orang yang melakukan perubahan signifikan dengan merubah gaya hidup, namun sakit maag tetap saja menyerang.
3. MITOS MAAG TIDAK BISA DIKENDALIKAN.
FAKTA: Orang yang terkena sakit maag tidak harus menderita diam-diam. Perubahan pola makan dan gaya hidup serta ketersediaan antasida yang dapat dibeli di pasaran dapat membantu meringankan derita itu.
4. MITOS PENDERITA MAAG TIDAK BOLEH BERPUASA
FAKTA: Tidak semua gangguan maag menjadi halangan untuk berpuasa. Tergantung jenis dan parahnya penyakit. Tetap konsultasikan pada dokter langganan.
5. MITOS JANGAN MAKAN YOGHURT KARENA RASA ASAMNYA
FAKTA: Yoghurt masih aman bagi mereka yang menderita penyakit maag. Rasa asam yoghurt tidak akan merangsang produksi berlebihan asam lambung dan meningkatkan iritasi pada lambung. Dalam literatur dikatakan bahwa salah satu manfaat yoghurt adalah justru mengobati sakit maag, maenyembuhkan luka pada dinding lambung.
6. MITOS BAHWA JERUK NIPIS MEMBUAT KAMBUH DAN PERUT PERIH
FAKTA:Meskipun terasa asam, air jeruk nipis sama sekali tidak membuat lambung perih. Justru mengandung khasiat dan menyegarkan. Rasa asam buah ini bersifat basa di dalam lambung dan akan membantu menetralisir asam lambung. Jadi sama sekali tidak menyebabkan sakit maag kambuh.
Rasa asam jeruk nipis berbeda dengan rasa asam buatan yang menyebabkan sakit perut, terutama jika diminum dalam keadaan perut kosong. Dengan sifat dasarnya yang basa, jeruk nipis dapat membantu penyeimbangan Ph di dalam sistem tubuh. Jeruk nipis juga mengaktifkan liver dalam proses detoksifikasi atau pembuangan racun dalam tubuh.
7. MITOS EFEK MENGUNYAH MINT SETELAH MAKAN MALAM, TIDUR JADI NYENYAK
FAKTA: Mint umumnya bukan cara terbaik memastikan tidur malam yang nyenyak bagi penderita sakit maag.
Faktanya mengonsumsi mint dikombinasikan dengan coklat dan posisi berbaring, malah memicu terjadinya gejala sakit maag berupa nyeri lambung.
8. MITOS ANTASIDA BUKAN OBAT YANG SESUNGGUHNYA
FAKTA: Sejumlah orang yakin bahwa antasida yang dijual bebas di pasaran bukanlah obat yang sesungguhnya. Antasida tetaplah obat. Anda tetap harus membaca petunjuk pemakaian. Jika digunakan sebagaimana mestinya, antasida efektif meredakan sakit maag. Benar, seperti magasida, mampu mengatasi maag, aman dan pastinya enak di mulut.
Magasida mampu melapisi lambung, mengurangi asam lambung dan membuat perut anti kembung. Keampuhannya berasal dari formula ganda Aluminium Magnesium dan Simetikon. Magasida mudah di dapat di apotik maupun toko-toko di sekitar rumah Anda.
Semoga bermanfaat, salam
Sumber:Health
Subscribe to:
Posts (Atom)